Rabu, 22 September 2010

Kepatuhan Wajib Pajak Pribadi Masih Rendah

SEMARANG (Suara Karya) Meskipun pengembalian surat pemberitahuan (SPT) wajib pajak sudah bisa mencapai 80 persen, namun nal terseuut lemyata belum diimbangi dengan tingkat kepatuhan pembayaran pajak. Menurut Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jateng I Sakli Anggoro, pihaknya kini terus berupaya mengejar penerimaan pajak yang* belum sepenuhnya dibayarkan tadi. "Sesuai catatan, hingga akhir Agustus lalu telah diterima pajak Rp 4,8 triliun dari target tahun ini sebesar Rp 8,6 triliun. Dari pencapaian Agustus itu, pajak penghasilan (PPh) memberi kontribusi terbesar, yakni sekitar Rp 2,3 triliun, disusul pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) sekitar Rp 1,7 triliun," katanya di Semarang, akhir pekan kemarin.

Menurut dia, kontribusi jenis pajak lainnya adalah bea materai sekitar Rp 96,1 miliar dan surat perintah membayar (SPM) atau pajak yang disetorkan oleh bendahara daerah sekitar Rp 140 miliar. Untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) masing-masing sekitar Rp 784 miliar dan Rp 239 miliar. Utuk itu, pihaknya mengimbau agar wajib pajak bisa meningkatkan kesadaran, khususnya wajib pajak pribadi. Sejauh ini penerimaan pajak dari badan atau lembaga lebih besar. Selain itu, pihaknya kinijuga tengah membidik wajib pajak yang berada di kalangan menengah atas agar lebih sadar lagi.

Optimalisasi

Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, optimalisasi penerimaan perpajakan akan terus dilakukan sehingga dapat meningkatkan tax ratio (rasio pajak). Tax ratio pada 2011 ditetapkan 12 persen atau meningkat 0,1 persen dibanding 2010, dan angka tersebut dibandingkan dengan negara-negara lain relatif rendah."Di Indonesia, perhitungan tax ratio hanya mencakup penerimaan perpajakan pusat tanpa mem-, perhitungkan penerimaan yang berasal dari pajak daerah dan penerimaan dari sumber daya alam, sebagaimana diterapkan di negara-negara lain," ujarnya.

Dia menambahkan, perkembangan penerimaan perpajakan dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan yang cukup pesat, karena dalam empat tahun terakhir, penerimaan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen.

Sedangkan dari sisi volume, penerimaan mengalami lonjakan dari sebelumnya Rp 1.034,1 triliun dalam periode 2000-2004 menjadi Rp 2.525,8 triliun untuk periode 2005-2009. "Selain itu, kontribusi penerimaan perpajakan terhadap pendapatan negara dan hibah juga meningkat dari 70,1 persen pada 2005 menjadi 73 persen 2009 dah diharapkan mencapai 77,3 persen pada 2011,"tutur Agus.

Insentif Fiskal

Di tempat terpisah, Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Plastik, dan Olefin Indonesia (inaplas) Budi Susanto Sadiman mengatakan, industri petrokimia memerlukan insentif fiskal berupa pemotongan pajak serta insentif untuk mendorong investasi dalam pembangunan kilang minyak di dalam negeri. "Insentif tersebut diperlukan untuk memasok kebutuhan nafta (bahan baku industri petrokimia) yang selama ini masih diimpor dari luar negeri," ucapnya.

Menurut dia, insentif yang diberikan dapat berupa fasilitas bebas pajak (tax holiday) dan pengadaan lahan mengingat untuk membangun kilang dibutuhkan lahan minimal 300 hektare. Sebenarnya selama ini pemerintah telah memberikan insentif dalam bentuk perlindungan berupa bea masuk terhadap produk serupa yang berasal dari negara di luar negara ASEAN. .

Budi mengatakan, perlindungan tetap dibutuhkan mengingat Indonesia masih tergantung pada ba-han baku nafta yang merupakan produk turunan dari minyak bumi. "Kalau mau kompetitif, industri petrokimia harus memiliki kilang minyak sendiri. Sepanjang belum memiliki kilang, perlindungan tetap dibutuhkan dari pemerintah," ujarnya.

Lebih jauh dia mengatakan, sebenarnya kalau Nafta tidak tergantung pada impor, harga produk industri petrokimia do-mestik bisa lebih kompetitif. Persoalannya, seluruh minyak dan produk turunannya yang diproduksi Pertamina, sebagian besar disalurkan untuk memasok kebutuhan bahan bakar minyak (BBM).

Padahal, kebutuhan nafta untuk industri petrokimia sangat besar. Sebagai catatan, impor nafta sepanjang 2010 diproyeksikan mencapai 2,08 juta ton dengan nilai 1,66 miliar dolar AS. Jumlah tersebut melonjak 30 persen dari impor 2009 senilai 1,02 miliar dolar AS.

Apalagi, kata dia, Indonesia setidaknya membutuhkan tambahan tiga kilang baru dengan kapasitas sebesar 300.000 barel per hari yang sudah harus dibangun dalam waktu dekat Sekitar 20 persen dari produksi kilang tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nafta sebagai bahan baku bagi industri petrokimia Sisanya, sebesar 80 persen, bisa digunakan untuk menyuplai BBM.

"Sesuai dengan cetak biru, pembangunan fisik kilang tersebut seharusnya sudah dilakukan pada 2012, dan sudah beroperasi pada 2015. Jadi, kalau kilang bisa dibangun, sumbatan (bottlenecking) pada industri ini bisa diatasi," katanya.

Pembangunan tiga kilang ini untuk memenuhi target produksi polypropy-lene yang dibutuhkan industri plastik sebanyak 1,5 juta sampai 1,6 juta ton per tahun dari kapasitas saat ini sebanyak 600.000 sampai 700.000 ton per tahun.
Sumber : Suara Karya

0 komentar:

Posting Komentar